Blue Happiness ~ Part VIII
Part VIII
Rasanya
aku ingin segera berlari sekencang-kencangnya. Lari dari semua kenyataan ini.
Aku benar-benar ingin lari dari semua ini. Tanpa ku sadar langkahku mulai
bergerak. Aku benar-benar lari sekarang. Suara derap sepatuku membuat seisi
lorong sekolah menjadi berisik. Teriakan murid lain bahkan para guru yang
memanggilku dengan keras hanya terdengar lirih di telingaku.
Entah
apa yang merasuki ku. Aku benar-benar merasa kacau. Puluhan anak tangga ku
turuni dengan cepat. Hembusan angin di taman sekolah bahkan terasa amat berat.
Tangisanku mulai terisak. Air mataku mulai berjatuhan. Aku sadar. Aku menangis.
Pelarianku
pun terhenti. Aku berhenti tepat di halaman belakang sekolah. Aku berjalan
pelan menuju sudut halaman ini. Aku pun langsung duduk dan menangis
sekeras-kerasnya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam hatiku.
Ada
apa dengan aku ini? Memangnya Ken itu siapa? Kenapa dia bisa menggetarkan
hatiku? Bahkan saat bersama River pun hati ini tak pernah bergetar sehebat ini.
Bahkan untuk pertama kalinya setelah kepergian River, aku pun bisa memikirkan
orang lain, dan itu Ken. Untuk pertama kalinya, kenangan akan River terasa
berbeda seperti ini. Aku seperti justru menyakiti River dengan hidupku yang
berubah menjadi menyedihkan seperti ini.
Tangisanku
sepertinya makin tak terkendali. Suaraku hingga terasa habis. Aku mulai hanya
terisak sekedarnya. Mataku jadi sembap. Aku sampai jadi lelah dengan
sendirinya.
Aku
pun diam. Sebuah bayangan pun berdiri tepat di hadapanku. Bayangan yang menjulang
tinggi itu pun menghilangi sinar matahari yang menimpaku. Aku hanya menghela
nafas malas. Dengan malas juga aku mengangkat kepalaku.
Sebuah
wajah yang tak bisa ku lihat dengan jelas. Aku mulai mengusap kedua mataku. Aku
mengerjap-ngerjapkannya perlahan. Samar-samar wajah itu mulai terlihat. Tapi,
tepat sebelum aku benar bisa melihat wajah itu dengan jelas, wajah itu telah
tiba tepat di depan mataku. Terlalu dekat hingga mataku langsung terkejut
melihatnya. Ken.
Tanpa
ku sadar aku memanggilnya dengan lirih. Senyuman itu pun langsung merekah di
wajahnya. Iya, tersenyum dengan hangat. Sehangat sinar matahari siang ini.
Angin yang sedang berhembus pun terasa dingin, sedingin raut wajahnya yang
terlihat seperti River secara bersamaan.
Saat
itu pun aku langsung tersadar. Wajah yang ada ini adalah wajah Ken. Bukan
River. Mataku ini sedang bertemu dengan mata milik Ken. Bukan River. Orang yang
ada ini adalah Ken. Bukan River. Yang sekarang ada adalah Ken. Bukan River.
Tidak. River tetap ada sekarang. River hanya sebatas kenangan.
Entah
sudah berapa lama, aku menatap Ken seperti ini. Ken pun sepertinya mulai
bingung dengan tatapanku ini. Ia pun menghela nafas panjang. Aku langsung
tersadar dari lamunanku. Situasi mendadak berubah jadi kikuk. Mata kami bertemu
tiba-tiba. Rasanya hati kami jadi sama-sama merasa bergetar.
Kami
sontak langsung berdiri. Tanpa ku sengaja kepalaku membentur kepalanya dari
bawah. Aku langsung menutup mulutku karena terkejut. Tanpa pikir panjang aku
langsung berlari seribu langkah sambil berteriak maaf. Sementara Ken hanya
melihatku berlari menjauh dan tersenyum geli.
Ketika
aku sudah sampai di lorong menuju kelasku, langkahku terhenti. Dalam hati, aku
berkata, “River, maaf aku sudah hidup dan menjadi orang yang menyedihkan karena
kepergianmu. Terima kasih untuk semuanya. Kamu dan kenangan tentangmu itu,
sekarang ataupun nanti, semua itu tetap ada, dan akan selalu ada dalam bagian
terbaik dalam hidupku. Mulai sekarang aku akan memulainya kembali dari awal.
Aku akan hidup dengan lebih baik lagi. Aku akan hidup dengan bahagia. I promise.”
Ku
hapus semua sisa air mataku. Ku lukis senyum di wajahku. Ku mantapkan
langkahku. Mulai sekarang semua akan berubah. Berubah menjadi lebih baik. Aku
akan menjadi lebih baik dan hidup dengan bahagia. Lalu, semuanya pasti akan
menjadi baik-baik saja.
“River,
I’m fine now. Goodbye.”, ujarku dalam
hati.
Sekarang,
iya sekarang. Saat pintu kelas ini terbuka di saat itulah semuanya akan berubah
seketika. Siapa yang akan menyangka, begitu cepatnya hatiku ini terbolak-balik
seperti ini dalam waktu yang cepat?
Pintu
kelas pun terbuka. Aku langsung masuk kelas begitu saja.
“Poetri?”,
panggil Guru Shin penuh selidik.
O
oo… Sepertinya aku dalam masalah.
Dalam
hati aku mengutuk hatiku. Aku teringat. Aku baru saja berlarian seperti orang
gila di lorong dan tangga sekolah. Aku langsung jadi lemas.
“Ken?”,
panggil Guru Shin dengan penuh selidik juga.
Aku
langsung terkejut. Ken sudah berdiri di sampingku. Sama seperti ku, dia pun
juga terkejut. Kami berdua dalam masalah. Masalah besar? Sepertinya hampir
seperti itu. Kami pun hanya saling menatap dan akhirnya menatap Guru Shin
dengan lemas.
Komentar
Posting Komentar