Blue Happiness ~ Part I
Part I
Mentari
pagi mulai bersinar mengejek mendung di hatiku. Aku sadar pagi yang begitu
ceria ini sedang tak bersahabat dengan ku. Aku harap mendung sajalah yang
bersemi hari ini. Setidaknya awan kelabu itu sanggup menyelimuti wajah pucatku.
Bayangkan
saja bagaimana aku sanggup menghadapi perpisahan yang begitu mengejutkan ini.
Kau pergi dengan senyuman terakhir yang menyayat hati. Satu pertanyaanku hingga
kini. Apakah kau melihat, mendengar dan merasakan isak tangis ku? Malam itu aku
sendirian di lorong rumah sakit yang gelap. Seorang diri meratapi sisa hidupku
tanpa hadirmu.
Aku
beranjak keluar rumah dengan muram. Ku lihat bayanganmu yang tengah mengomel
dengan manja. Kau terus mengeluh karena menunggu terlalu lama. Hari memang
masih terlalu pagi tapi kau terus berkata kita sudah terlambat.
Kau
yang tak sabar langsung turun dari sepeda kayuhmu. Membuka pagar rumahku dengan
pura-pura gusar. Saat jemarimu hendak meraih tanganku bayanganmu langsung
hilang tersapu angin.
Tanpa
ku sadari air mata itu berlinang. Ku tatap langit di atas kepalaku. Apakah kau
sedang melihatku dari atas sana? Apakah kau bisa mendengar suara hatiku? Apakah
bayanganmu tadi itu nyata? Bisakah kau kembali? Tidak ada yang menghapus air
mataku. Bagaimana bila aku akan terus dan terus menangisimu? Ini sungguh tidak
adil. Kenapa kau harus pergi tanpa pernah menceritakan semua penderitaan itu?
Suara
ibuku yang lembut menyadarkan aku dari bayanganmu. Ibu memelukku dengan hangat.
Dengan tenang ibu menuntunku ke mobil. Sudah tiga hari aku tidak masuk sekolah
semenjak kepergian River. Hari ini pun aku sebenarnya juga belum merasa baik.
"Poetri,
Ibu yakin River juga akan sedih melihat keadaan yang kamu miliki sekarang ini.
Bagaimanapun juga River hanya ingin kamu hidup bahagia. Apapun itu alasan
mengapa dia tidak berbagi cerita tentang penyakit kanker otaknya itu pasti
hanya semata untuk melindungimu dari rasa khawatir akan dirinya. Ia ingin
melihat seorang Poetri bahagia, melindunginya, dan menghapus air matanya. Bukan
malah sebaliknya. Cobalah memahami ini! Menerima semua ini! Mengikhlaskan
kepergian River! Hanya dengan cara itu ia bisa tersenyum di atas sana. Sekarang
pergilah! River ingin melihat Poetri yang dikasihinya tersenyum bahagia. Salah
satunya dengan menikmati hari-hari di sekolah.", pesan Ibu.
Aku
turun dari mobil dengan langkah pelan. Semua mata menghujam jantungku. Aku
tidak peduli dalam diamku itu aku terus berjalan. Terus menyusuri lorong
sekolah dengan bayangan tentang dia. Pikiran dan hatiku seolah tertuju hanya
pada satu hal. Satu wajah. Satu senyuman. Satu nama. River. Cinta pertama
Poetri.
Dengan
gontai aku terus berberjalan. Terus menerobos dinginnya tembok sekolah. Pikiran
dan perasaan yang sekarang ini aku miliki seolah telah hilang bersama lenyapnya
hadirmu. Bahkan waktu juga seolah terhenti bersama dengan hembusan nafasmu yang
telah pudar. Angin pun juga enggan berhembus mengelilingi diri ini yang memilih
untuk diam.
Aku
masuk ke kelas dengan layu. Bak kayu yang tahu akan segera berakhir menjadi
abu. Beruntunglah aku! Setidaknya teman sekelasku mendengar ekspresi diam
seribu bahasaku. Mereka lebih memilih terlihat sibuk sendiri. Hanya tersenyum
sesekali ketika aku melintas di depan bangku mereka. Tak ada bisikan mengganggu
ataupun sorot mata yang ingin menelanku.
Derap
langkah kaki Guru Shin mulai merapat. Aku kenal betul suara langkah itu. Tapi
ada satu hal yang terdengar berbeda. Derap langkah yang seharusnya tak akan
pernah bisa ku dengar kembali kecuali di alam setelah kematian. Suara derap
langkahnya, River!
Komentar
Posting Komentar