Blue Happiness ~ Part IV
Part IV
“Kau? Kau pikir kau ini siapa?”, balasku curiga.
“Apa yang kau katakan?”, tanyanya angkuh.
“Kenapa kau mengatakan itu?”, tanyaku balik.
“Mengatakan apa?”, tanya balik.
Aku menghembus kesal. Semua diam. Dalam hati aku mengutuk diriku
sendiri. Orang yang memberi kopi ini, aku tak kenal. Lebih baik tak perlu
saling peduli. Ini hanya akan jadi permainan menjengkelkan.
Ruang seolah tak dilalui angin. Kopi dan pahitnya seolah membawaku
berlalu. Senyum angkuhnya merekah dalam wajah tampannya. Sekilas bayangan River
berhembus di wajahnya.
Ken pun mengakhiri situasi aneh ini. Ia hanya terseyum sinis lalu
pergi. Aku hanya mampu menatapnya berlalu dalam kesalku.
Akhirnya, hari pertama yang tak kuharap berakhir juga. Mendung. Lagi.
Semangat dari kawan tak terbendung. Tapi tetap saja langit jadi mendung. Aku
kembali melamun. Lagi.
Ken menegurku. Aku tak peduli. Kelas sudah kosong. Aku masih diam.
Ken juga. Tapi aku tak peduli. Pandanganku beralih ke jendela. Lamunanku
mendadak kosong. Ken terus menatap ke arah depan kelas. Senja mulai datang.
Sekolah mungkin hanya tinggal para guru dan staf di dalamnya.
Ken memecah keheningan. Aku hanya meliriknya sesaat. Aku hanya
mengikutinya melihat ke depan. Aku berpikir lebih baik kalau aku
mendengarkannya saja. Daripada sekarang aku harus pulang dan melihat mama
khawatiran aku lagi dan lagi. Toh, akau juga tidak akan peduli dengan apa yang
dia katakana nanti.
“Pernah dengar cerita tentang Pandora?” tanyanya.
“Kalau kau hanya ingin membuatkku kesal sebaiknya kau yang
pergi.”, lirikku malas.
Ken tersenyum kecil. Ia menatapku sesaat. Tapi aku masih tak
peduli.
“Dalam metodologi Yunani, Para Dewa memberinya hadiah sebuah
kotak. Dengan syarat, Pandora tidak boleh membukanya. Karena Pandora penasaran,
suatu hari ia pun membukanya. Setelah dibuka, tiba-tiba saja aroma menakutkan
terasa di udara. Apa kau tahu maksud dari aroma itu?”, lanjut Ken.
“Aroma? Aroma yang menakutkan itu… Rasa sakit dan malapetakan yang
lain.”, jawabku pelan.
Ken kembali tersenyum kecil. Ia kembali menatapku. Kali ini lebih
lama dari yang sebelumnya. Tanpa sadar aku pun menatapnya. Sejenak mata kami
saling bertemu. Sekejap yang ku lihat adalah River. Tanpa ku sadar tangan ku
perlahan ingin menyentuh wajahnya. Air mataku hampir terjatuh. Sesaat, aku pun
sadar. Aku tertunduk. Ken terdiam. Ken hanya kembali melihat ke depan.
Suasana pun menjadi canggung. Senja mulai habis. Gelap mulai
datang. Aku beranjak. Tangan Ken langsung menahanku.
Sambil menatap kedepan, “Ceritaku belum selesai. Duduklah.”,
pintanya.
“Setidaknya, dengarkan aku sampai ceritanya selesai. Bukankah
setiap cerita harus punya endingnya?”, lanjutnya sambil menatapku lembut.
Aku menghela nafas panjang. “Terserah. Lanjutkan saja!”, jawabku
malas.
Kami kembali menatap ke depan. Mendung berganti gelap. Gerimis
mulai datang. Ken pun melanjutkan ceritanya.
“Kau benar. Saat itu, rasa sakit dan malapetaka itu keluar dari
kotak itu. Mereka keluar dengan bebasnya. Semua malapetaka itu menyebar ke
seluruh dunia. Menimpa setiap manusia di dunia. Pandora terkejut. Ia menyesal
atas perbuatannya. Ia ingin menutup kembali menutup kotak itu. Tapi, Pandora
sudah terlambat. Di dalam kotak itu, yang ia lihat hanya ada satu yang tersisa.
Apa itu?”, lanjut Ken dengan tulus.
“Harapan”
Kami menjawab pertanyaan itu bersama. Aku terkejut. Aku menatap Ken
lekat-lekat. Ken terdiam. Tersenyum kecil lagi. Ia melihatku sekilas. Ia masih
ingin melanjutkan ceritanya. Aku masih terus menatapnya.
“Harapan. Ya, harapan. Pandora kemudian melihat ke dalam kotak. Ia pun
menyadari bahwa terdapat satu hal yang tersisa. Satu hal yang tidak ikut
terlepas dari kotak itu. Dan itu adalah harapan. Karena hanya harapan, hanya
harapanlah yang bisa menenangkan manusia itu dari penderitaan yang mereka
alami.”, tutup Ken.
Aku masih terdiam. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari Ken. Tapi, Ken
masih saja sama. Ia hanya tersenyum kecil dan menatap ke depan. Suara petir
mulai terdengar. Aku sudah tak bisa lagi. Air mataku mulai mengalir.
Ken pun akhirnya menatapku. Ia terkejut. Ia menyadari sesuatu. Ia telah
melakukan hal yang salah. Ia bukan hanya baru saja mengakui kesalahan
terbesarnya. Selain telah membuka kotak Pandoranya sendiri, ia juga baru saja
melepaskan satu hal terakhir yang tersisa.
Kami berdua tenggelam dalam tatapan kami masing-masing. Hatiku makin terasa
sakit. Lebih sakit sepertinya dibanding saat River pergi. Setiap kata dalam
ceritanya. Setiap ekspresi yang ia tunjukkan itu. Bahkan tak ada satu pun yang
terlewatkan. Ken melakukannya sama persis seperti yang River lakukan.
Aku menghentikannya. Aku berdiri dan menunjukknya. Ken pun juga ikut berdiri di
hadapanku. Hanya saja tatapannya melembut. Namun, sayangnya justru aku yang
menajam padanya.
“Kau? Kau siapa? Katakan padaku sekarang! Siapa kau sebenarnya?”, hardikku.
“Aku… Aku…”, Ken mulai kehabisan kata-katanya.
“Saat itu hanya ada aku dan River di taman itu. Saat itu bahkan River mengatakan
bahwa ia hanya akan menceritakan cerita itu hanya untukku. River tak pernah
sekalipun berbohong padaku bahkan sejak kami berteman dari kecil. Dan bahkan
hingga saat ini pun aku masih terus percaya padanya.”, aku mulai meluapkan
semua emosiku.
Ken terdiam sejenak. Ia tertunduk. Ia seolah tak berani menatapku lagi. Tapi,
aku tak berhenti. Emosiku tak bisa lagi dihentikan disini.
“Kau… Cepat, jawab aku sekarang! Kau ini siapa? Siapa kau sebenarnya?”,
hardikku lagi.
“Kau benar. River tak mungkin berbohong padamu. Aku juga percaya padanya. Aku…
Masihkah kau ingat aku? Aku ada saat itu. Tapi, aku tidak menyangka. Besarnya
harapanmu pada River membuatmu tak bisa melihatku.”, jawabkan Ken lembut.
Ken pun terduduk lemas. Tanpa ku sadar aku pun juga mulai lelah. Aku duduk
dihadapannya. Hanya saja aku mulai mengalihkan pandanganku.
“Coba kau ingat lagi… Dimana taman itu lebih tepatnya? Di dekat rumah sakit
tempat River dirawat bukan? Iya, aku juga dirawat bersama River sebelumnya.
Bahkan aku masih ingat bagaimana kami pertama kali bertemu. Sama persis seperti
kita pertama kali bertemu hari ini, Poetri.”, tutupnya.
“Hentikan… Aku tidak mau mendengarkannya lagi.”, pintaku.
Aku beranjak pergi. Benar-benar pergi meninggalkan ruang kelas
itu. Tapi sebelum aku benar-benar pergi. Ken mengatakan sesuatu yang membuatku
mengingat dirinya.
“Bukankah kopi itu memang terasa pahit? Bukankah dalam hidup
mungkin juga begitu? Kalau begitu kenapa kau tidak membiarkanku menikmatinya
saja?”, ucap Ken.
Saat itu juga aku menghentikan langkahku di ambang pintu. Aku
terdiam dan tertunduk. Ken melewatiku begitu saja. Suara hujan mulai tak
terdengar. Hanya terasa angin malam yang berbisik. Bahkan tanpa ku sadar
sejumlah mata memperhatikanku dengan khawatir di ujung pintu yang lain. Ruang
kelasku dan isinya masih di sini, detik ini, bersamaku, menemaniku sedari tadi
Komentar
Posting Komentar