Blue Happiness ~ Part III
Part III
Bagi
setiap orang yang pernah menerima arti sebuah perpisahan, kata pisah itu bisa
menjadi kenangan pahit. Tapi bagaimana denganku? Yang bahkan tak menerima kata
pisah itu sendiri. Entah apa yang merasuki batinku, aku seperti hembusan angin
yang sekedar berhembus tiada arti.
Aku
akhiri lamunanku. Suara gemeretak tangan Ken menggangguku. Aku terdiam sesaat.
Meliriknya kesal. Aku tak peduli padanya dan ku harap ia pun juga tak akan
melihat ke arah ku.
Sayangnya,
takdir berkata lain. Guru Shin memintaku membantunya beradaptasi di sekolah
ini. Lebih tepatnya, aku akan menjadi pemandu wisata Ken di sekolah ini. Seisi
kelas terdiam tak percaya. Bagaimana bisa Guru Shin memintaku melakukan ini.
“Maaf,
Pak! Tapi, Poetri pun masih kurang baik hari ini. Lagipula, Ken ini siapa?
Kurasa dia bukan seseorang yang sulit beradaptasi.”, sindir Jenny.
“Jenny,
setiap murid di kelas ini adalah tanggung jawabku. Adalah merupakan tugasku
untuk melakukan apapun yang terbaik untuk kalian. Dan menurutku, ini adalah
yang terbaik. Cukup sekian untuk semuanya. Tolong jangan membantahku kali
ini!”, jawab Guru Shin tegas.
Seisi
kelas kembali membeku. Semua mata mengacuhkan ku. Jam dinding seolah berdetak
seorang sendiri. Ken kembali menggeretakkan tangannya. Aku mulai kesal. Tapi,
tetap ku biarkan saja.
Ken
mulai merasa bosan. Gemeretak tangannya makin menguat. Dia mulai melirik ku
terus menerus. Aku tak peduli. Aku terus terdiam. Jenny melihat ke arahku.
Jenny memberiku kode tentang Ken. Ia maksud sepertinya Ken ingin mengatakan
sesuatu padaku. Aku hanya menggeleng. Jenny pun jadi kesal kemudian Jenny
menyerah.
Aku
melihat ke arah Ken. Pandangannya menatap lurus ke depan. Ken memperhatikan
penjelasan Guru Shin. Tapi aku tak percaya. Aku memperhatikannya dari ujung
rambut hingga kaki. Sepertinya, aku memperhatikannya terlalu lama. Hingga aku
tak sadar kalau Guru Shin dan seisi kelas kembali berpusat ke arah ku.
Ken
menatapku. Aku kaget. Jadi kikuk. Tapi aku malah semakin kaget karena pusaran
di ruang kelas ini berakhir padaku. Aku kembali menatap Ken. Dia tersenyum
mengejek. Aku tak peduli. Guru Shin mulai menyerah padaku.
Bel
istirahat pertama akhirnya berdering. Aku tak beranjak. Bahkan tak satu pun isi
kelas ini beranjak kecuali Guru Shin.
“Aku
tahu ini berat bagimu. Tapi ayo kita terus berjalan bersama.”, ujar ketua
kelas.
“Ketua
kelas benar. Bukan hanya kau yang kehilangan River, kami juga. Ya, meskipun
kami tahu kau yang paling merasa kehilangan”, tambah Jenny.
Tiba-tiba
Ken mendorong kursinya lalu pergi. Pergi begitu saja. Tidak. Setidaknya ia
menghela nafas panjang.
“Entah
bagaimana bisa seorang yang visualnya sebaik dia bisa dingin seperti es batu
begitu. Dibanding River tentu saja, River yang terbaik. Coba lihat saja dia!
Visual tak menjamin tingkahnya. Benar-benar keterlaluan!”, sindir Mulan.
“Sudahlah,
biarkan saja dia! Dia tak peduli dengan kita, jadi kenapa kita harus peduli
padanya.”, tutup ketua kelas.
Seisi
kelas mulai beranjak. Ketua kelas, Jenny dan Mulan menghampiriku. Satu per satu
teman-temanku datang padaku. Mereka bilang aku harus tetap hidup dengan baik
dan bahagia. Mengikhlaskan River yang sudah pergi. Kita semua akan tetap
bersamaku.
Mendadak
di luar kelas terdengar riuh. Ketua kelas mencoba keluar melihat keadaan. Itu
Ken. Ketua kelas tak peduli. Murid lain jadi heboh melihat visual Ken. Ken tak
peduli. Ketua kelas hendak menahannya. Tapi Ken malah mengabaikannya. Ia masuk
ke kelas. Ke arah ku.
Ruang
dan waktu menunggu takdir di hadapan kami. Tapi yang terjadi di luar khayalan
kami. Ia meletakkan sekaleng coffee latte
di mejaku.
“Hidupmu
mungkin terasa pahit. Begitu pula dengan rasa kopi yang kau suka. Jadi, kenapa
kau tidak menikmatinya saja?”, ucap Ken lembut menajam.
“Kau.”,
balasku curiga.
Komentar
Posting Komentar