Story~ LemonOrange
LemonOrange
Pagi
ini terasa dingin. Embun tak terlihat. Semua biru. Hujan turun dengan derasnya.
Membasahi setiap jengkal bumi ini. Pagi mendung ini telah berhasil melunturkan
semangat pagiku. Dengan lemas ku putar papan tutup menjadi buka. Pandanganku terlihat
sendu dari balik pintu kafe. Suasana pun semakin membiru. Aku bergegas masuk.
Ku putar lagu milik Yoseob “BEAST” –
Caffeine. Suasana semakin biru dan bertambah biru. Ku lanjutkan pekerjaanku.
Membersihkan dan menyiapkan banyak hal untuk kafe “LemonOrange”ku. Hari ini
mungkin kafe akan sepi. Satu dua jam berlalu. Tak ada satu orang pelanggan pun
datang. Hujan pun seolah enggan berhenti menangis.
“Maaf! Permisi!”, pintu kafe
terbuka.
“Selamat datang! Ada yang bias ku
bantu?”, tanyaku menghampirinya.
“Maaf! Aku kehujanan. Apa aku bisa
meminta sesuatu yang hangat?”, tanyanya lembut.
“Baiklah, akan ku bawakan secangkir
coklat panas. Silahkan duduk terlebih dahulu!”, jawabku lembut. Ia hanya
mengganguk senang.
Dengan tenang ku buatkan secangkir
coklat panas untuknya. Saat mengantarkan pesanannya, ia terlihat sangat
kedinginan. Ternyata payung kuningnya itu tak cukup melindunginya dari tetesan
hujan.
“Terima kasih!”, katanya senang.
Kasihan. Aku pun bergegas
mengambilkan handuk untuknya.
“Ini! Silahkan! Secangkir coklat
panas ini belum tentu cukup menghangatkanmu. Kau juga harus mengeringkan
tubuhmu.”, ucapku.
“Terima kasih.”, jawabnya dengan
senyuman.
“Iya. Tapi, maaf! Boleh aku
mengatakan sesuatu? Aku belum pernah melihatmu di sekitar sini sebelumnya.”,
ucapku hati – hati.
“Benarkah? Kau tidak mengenaliku?
Kau sama sekali tidak tahu aku?”, tanyanya kaget.
“Maaf! Tapi aku memang tidak
mengenalimu.”, jawabku pelan.
“Baguslah kalau begitu. Namaku
adalah Kevin. Kevin Tan. Aku tidak menyangka kau tidak mengenaliku di negara
ini. Tapi tunggu dulu. Sepertinya kau tidak berasal dari sini. Apakah kau ini orang
asing?”, balasnya.
“Iya! Aku memang bukan orang sini.
Aku baru pindah dari Seoul setahun yang lalu. Aku tinggal di sini untuk memulai
hidup yang baru. Namaku adalah Han Sang Jin. Orang – orang di sini lebih suka
memanggilku Nona Han.”, jawabku pelan.
“Wah! Hebat! Tapi bahasamu bagus.
Pasti salah satu dari orang tuamu adalah orang Indonesia.”, balasnya lagi.
Aku hanya mengangguk.
Hujan mulai berhenti menangis.
Menyisakan buliran – buliran air hujan saja. Kevin tetap tenang seolah tak mau
beranjak. Dengan pelan dan nyaman ia meneguk setiap tegukan coklat panas
buatanku. Lagu Yoseob “BEAST” terus berputar. Entah mengapa kenangan masa lalu
itu kembali singgah sejenak. Kevin terlihat sangat mirip dengannya. Gaya
bicaranya, caranya mengenalkan diri, dan caranya meminum coklat panas buatanku
semuanya sama.
“Hujan sudah mulai reda. Sebaiknya
aku bergegas pergi. Ini uangnya.”, ucapnya tiba – tiba. Ia berdiri. Meletakkan
selembar uang seratus ribu di atas meja.
“Ambilah
kembaliannya untukmu! Terima kasih atas bantuanmu hari ini. Aku tidak tahu apa
yang akan terjadi kalau kafemu ini tidak buka.”, lanjutnya malu – malu.
Dengan
tergesa – gesa ia keluar begitu saja dari kafe. Padahal aku belum sempat
mengucapkan terima kasih. Kenangan masa lalu itu pun seolah kembali terulang di
depan mataku. Saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Aku
pun tersadar. Dengan tenang ku bawa cangkir itu ke tempat cuci piring. Saat itu
aku baru sadar kalau ia membawa handukku dan meninggalkan payung kuningnya. Ku
ambil payung itu. Tapi saat aku keluar dan mencarinya, ia sudah tidak ada. Aku
pun hanya bisa menghela napas. Ku simpan payung itu di bawah meja kasir.
Ternyata
tak sesuai dugaanku. Beberapa saat kemudian hujan benar – benar berhenti. Para
pelanggan pun mulai datang silih berganti. Waktu mulai bergulir dengan
cepatnya. Meski hanya bekerja seorang diri tapi ini adalah caraku untuk
mengusir pahitnya masa lalu yang pernah ku rasakan di Seoul.
Pelanggan
terakhir hari ini sudah keluar. Dengan lelah aku duduk di kursi yang di duduki
Kevin tadi. Meski sudah setahun berlalu tapi kenangan itu rasanya enggan
beranjak dari alam pikiranku.
“Semua
harus berakhir di sini. Bahkan sampai akhir hayat mereka, kedua orang tuaku
tetap enggan menyetujui hubungan ini. Maafkan aku! Selamat tinggal!”, ucapku
terakhir kali pada Jeon Jung Kook. Cinta pertama yang ku harapkan menjadi yang
terakhir untukku.
Aku
terbangun dari lamunan masa laluku. Aku menghela napas kesal. Kenapa sampai
detik ini ku tak bisa melupakannya? Seperti yang Ibu katakan Jung Kook terlalu
sempurna untuk orang pendiam sepertiku. Dengan tenang ku bersihkan kafe ini.
Hari sudah malam. Sudah saatnya “LemonOrange” ditutup.
“Maaf!
Permisi!”, ucap seseorang di belakangku.
“Maaf!
Kami sudah tutup!”, jawabku sambil berbalik ke arahnya.
Aku
melihat Kevin disana. Dengan penuh senyum ia menatapku.
“Ini
bunga untukmu dan ini handukmu. Maaf, ya! Aku sudah main lari begitu saja.”,
ucapnya malu.
“Ini
bukan hal yang serius. Kau tak perlu membawakan bunga segala untukku. Tunggulah
sebentar akan ku ambilkan payungmu.”, jawabku sambil berlalu.
“Tunggu
sebentar! Nona Han, apa boleh aku minta secangkir coklat panas?”, tanyanya tiba
– tiba.
“Hheemm…
Baiklah, aku akan membuatkanya untukmu.”, jawabku ragu.
Dengan
perasaan yang seolah dipulangkan ke masa lalu aku membuat coklat panas dalam
diam. Bahkan air mataku hampir jatuh saat hendak mengambil payung kuning di
bawah meja kasir.
“Ini,
silahkan!”, kataku menyajikan secangkir coklat panas.
Dengan
senangnya ia meneguk setiap tegukan coklat panas itu. Aku hanya bisa terdiam
saat melihatnya. Ia benar – benar mirip seperti Jung Kook. Tapi ini pasti hanya
kebetulan saja.
“Maaf!
Apakah kau benar – benar tidak mengenaliku? Apakah kau benar – benar sudah
melupakanku? Setidaknya apakah kau tidak berpikir kalau aku ini juga sama
sepertimu?”, tanyanya tiba – tiba.
“Maafkan
aku! Tapi apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Aku sama sekali tidak ingat pernah
mengenalmu sebelum ini.”, jawabku hati – hati.
“Baiklah!
Baiklah! Aku ini Jeon Yoon Gi. Adiknya Jeon Jung Kook. Tapi tenanglah. Aku
sudah lama tinggal di Indonesia. Jadi ku pikir akan lebih baik untuk tidak
memberitahukannya tentangmu di sini. Tapi Nona Han, Kau harus tahu satu hal.
Aku akan datang setiap hari kemari. Menjadi pelanggan pertama dan terakhirmu.”,
ucapnya lugas.
Dunia
seolah berhenti berputar tepat di depan mataku. Aku terkejut. Lepas dari
kakaknya kenapa sekarang adiknya justru menghampiriku. Pikiranku mendadak
kacau.
“Apakah
kau sudah selesai?”, tanyaku pelan. Suaraku mulai bergetar.
“Apa?
Dengarkan aku baik – baik Nona Han. Sejak pertama kali kakakku bertemu denganmu
itu semua karena aku. Apa kau masih belum tahu kalau sebenarnya kedua orang
tuamu tidak menyetujui hubungan kalian karena aku? Akulah yang seharusnya
bertemu denganmu saat itu. Akulah yang orang yang akan dijodohkan oleh kedua
orang tuamu. Bukan kakakku. Kakakku tahu itu. Tapi ternyata saat pertama kali
ia melihatmu ia langsung jatuh hati padamu. Aku mengalah. Sejak saat itu aku
memutuskan untuk pergi. Sekarang justru kau yang meninggalkannya. Oleh karena
itu, aku akan berusaha mendapatkan hatimu. Mendapatkan kembali sesuatu yang
harusnya sejak dulu menjadi milikku.”, jawabnya dengan sendu tapi tegas.
“Apakah
kau sudah selesai?”, tanyaku lagi
“Apakah
kau bisa pergi sekarang?”, tanyaku lagi. Air mataku mulai jatuh.
“Baiklah,
aku mengerti. Mungkin ini terlalu mengejutkan untukmu. Aku akan pergi. Tapi aku
pasti akan selalu datang lagi.”, jawabnya sambil beranjak pergi.
Ia
sudah pergi ditelan malam. Sekuat tenaga aku menahan rasa perih ini. Bagaimana
mungkin Ibu dan Ayah menyembunyikan ini dariku? Aku tertunduk. Hingga akhirnya
air mataku pun mengalir dengan derasnya. Dunia seolah runtuh di hadapan ku.
Yoon Gi seolah berubah menjadi duri bunga mawar yang tengah bersiap menusuk
jemariku. Bayangan Jung Kook kembali datang menghampiriku. Mengingatkan
kekejamanku atas cinta dan hatinya. Malam ini kembali menjadi malam terberat
dalam hidupku.
***
Pagi
ini mentari bersinar dengan indahnya. Ku buka kafe “LemonOrange” ini dengan
senyuman. Meski senyuman ini ku paksakan tapi setidaknya aku memang harus
mengawali pagi secerah ini dengan senyuman.
“Maaf!
Permisi! Nona Han! Aku datang!”, sapa Yoon Gi.
“Hah?!
Kenapa kau datang kemari?”, tanyaku kesal.
“Secangkir
coklat panas sepertinya adalah yang terbaik untuk mengawali pagi hari ini.”,
jawabnya.
“Baiklah,
tunggu sebentar!”, balasku sekenanya.
Setelah
menyajikan pesanannya ia hanya sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia meneguk
coklat panas itu. Melihat ke arahku sambil tersenyum lembut. Aku terpaksa tak
menghiraukannya. Pagi ini “LemonOrange” sudah begitu ramai. Sepertinya efek
dari pancaran sinar mentari pagi ini.
Begitu
sibuknya aku melayani semua pelanggan seorang diri benar – benar membuatku
seolah sedang mencampakannya. Meski sesekali aku melihat ke arahnya. Setelah
menerima pembayaran dari pelanggan yang terakhir di pagi itu, aku baru sadar
kalau dia sudah tidak ada. Di atas mejanya ada seikat bunga mawar kuning, uang
seratus ribunya dan secarik kertas tisu.
“
Mentari menyambutku dengan
senyuman pagi ini. Bukan hanya dengan sinarnya tapi juga dengan kehangatannya.
Terima kasih untuk secangkir coklat panasmu pagi ini. Ambillah kembaliannya!
Hidup di negeri orang itu sering kali tak semudah yang kau bayangkan. Aku harus
pergi bekerja. Ada meeting penting pagi ini.
Semangat!
Yoon
Gi – mu! “
“Yoon
Gi – ku?! Dasar orang ini!”, ucapku senang.
Seperti
biasa “LemonOrange” terus kedatangan banyak pelanggan. Malam pun tiba. Bintang
mulai berkedip manja. Bulan mulai menerangi warna abu – abu di tengah gelapnya
langit.
“Maaf!
Permisi! Nona Han! Aku datang!”, sapa Yoon Gi.
“Kenapa
kau datang kemari lagi?”, candaku.
“Hei!
Kau ini! Bersikaplah baik pada pelanggan barumu ini. Kau ada waktu? Sudah
saatnya “LemonOrange” tutup, kan?”, balasnya.
“Hm!
Memang ada apa?”, tanyaku malu.
“Ayo,
kita pergi jalan – jalan! Hanya jalan – jalan saja! Di taman!”, ajaknya.
Aku
diam.
“Kau
tidak mau ya?!”, tegurnya. “Baiklah, aku akan pergi sendiri saja!”, putusnya.
Ia
pun beranjak melangkah ke ambang pintu.
“Tunggulah
sebentar! Kau tunggu di luar!”, balasku ketus. Bercanda.
Sebelum
keluar dari pintu aku seolah melihat ada cinta yang baru sedang menungguku.
Cinta yang seharusnya. Seandainya saja aku menuruti kata – kata Ayah dan Ibu.
Mungkin aku sudah hidup bahagia dengan Yoon Gi sekarang. Dengan geli ku lihat
Yoon Gi menunggu dengan gelisah. Tak sampai hati aku melihatnya.
“Ayo,
kita pergi!”, ucapku. Ia hanya mengangguk tak percaya. Aku sampai menahan tawa
melihat tingkahnya yang gugup.
Malam
– malam indah seperti inilah yang mengisi hari – hariku selanjutnya. Begitu
indah penuh tawa dan senyuman. Yoon Gi benar – benar berbeda dengan Jung Kook.
Di pagi hari Yoon Gi selalu menyapaku dengan bunga mawar kuning untukku. Di
malam hari ia mengajakku berjalan – jalan di banyak tempat.
Waktu
terus bergulir. Aku dan Yoon Gi semakin dekat. Sebulan berlalu. Ku putuskan
untuk menerima permintaan Yoon Gi sebagai tunangannya. Mungkin orang lain akan
berpikir ini terlalu cepat. Tapi aku sudah mengenal Yoon Gi sejak lama. Mungkin
sesaat sebelum bertemu Jung Kook. Saat masih bersama Jung Kook, kami sering
membicarakan Yoon Gi. Jadi aku sudah tahu banyak hal tentangnya.
Setahun
berlalu. Kami menetapkan tanggal pernikahan. Aku kembali bertemu dengan orang
tua Jung Kook dan Yoon Gi. Mereka sengaja datang kemari untuk membicarakan
pernikahan kami. Baik Yoon Gi maupun orang tuanya ternyata masih merahasiakan
hal ini dari Jung Kook. Meski terdengar jahat tapi aku bersyukur karenanya.
Bagaimana pun aku belum siap menghadapi Jung Kook.
Seperti
biasa aku membuka kafe “LemonOrange” pagi ini. Ada seseorang yang masuk ke kafe
saat aku sedang membersihkan meja yang terletak paling belakang. Tanpa menoleh
aku langsung menebak kalau itu adalah Yoon Gi.
“Hei!
Yoon Gi! Kenapa kau datang sepagi ini?”, sapaku.
Hening
tak ada jawaban. Aku heran. Tiba – tiba saja terdengar suara figura foto jatuh.
Refleks. Aku menoleh ke belakang. Aku terkejut. Orang ini sekarang berada di
hadapanku. Jeon Jung Kook. Ia bingung tidak tahu harus bicara apa. Matanya
berkaca – kaca. Ia tertunduk. Ia seolah tak sanggup menatapku. Kehidupannya
seolah runtuh tepat di depan bola matanya. Ia terjatuh.
Air
mataku berlinang. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dengan ragu ku
hampiri tubuh Jung Kook yang bergetar hebat. Dengan ragu pula aku menariknya ke
dalam pelukanku. Jung Kook menangis. Ia memelukku dengan sangat erat. Seolah ia
ingin melepaskan semua bebannya karenaku. Kami berdua hanyut dalam kesedihan
dan kerinduan masa lalu yang sempat terukir manis.
“Maaf!
Permisi! Nona Han!”, sapa Yoon Gi ceria.
Tapi
senyumannya itu langsung tercekat. Ia terkejut. Bunga mawar kuning itu terlepas
dari genggamannya. Hatinya seolah runtuh seketika. Ia linglung. Dengan gontai
ia melangkah keluar. Yoon Gi benar – benar terlihat tak kuasa melihatku dengan
Jung Kook.
Aku
juga sama terkejutnya seperti dia. Dengan cepat ku lepaskan pelukan Jung Kook.
Aku berlari keluar kafe. Mencari Yoon Gi. Aku menemukannya. Aku berlari ke
arahnya.
“Yoon
Gi-ah! Yoon Gi-ah!”, teriakku memanggilnya dengan tangis.
Aku
tidak mau melepaskan cintaku lagi. Yoon Gi berhenti. Aku terhenti. Aku
menangis. Tanpa pikir panjang aku langsung menghambur ke pelukannya. Aku
menangis sejadi – jadinya. Yoon Gi pun tak kuasa pula menahan linangan air
matanya. Ia melepaskan pelukannya. Tapi aku terus menangis.
“Kembalilah!
Kembalilah padanya! Dia datang kembali untukmu! Hanya untukmu! Han Sang Jin!
Aku baru tahu kalau dia terus mencarimu kemarin malam. Tapi aku tidak menyangka
kalau ia akan segera menemukanmu saat itu. Kondisinya sedang buruk. Beberapa
kali sudah ia kabur dari sanitarium hanya untuk mencarimu. Umurnya hanya
tinggal sebulan saja. Kembalilah!”, ucapnya tegas dalam tangis
“Tidak!
Aku tidak mau! Aku yang meninggalkannya. Bagaimana mungkin aku juga yang harus ingin
kembali bersamanya? Kau sudah gila? Hah? Aku tidak akan mau melakukannya! Kau
pikir aku ini apa? Seenaknya kau datang memintaku untukmu lalu sekarang kau tiba
– tiba memintaku kembali ke masa laluku.”, balasku penuh tangis.
Tiba
– tiba, Brakkk…
Sebuah
mobil tepat menghantam tubuh Jung Kook yang tengah berlari ke arah kami dengan
susah payah. Aku terkejut. Yoon Gi langsung berlari ke arah Jung Kook. Aku terjatuh.
Ku lihat dari kejauhan Jung Kook tersenyum untuk yang terakhir kalinya untukku.
Sekuat tenaga aku berdiri. Berlari ke arahnya.
Aku
langsung terduduk lemas di hadapannya. Yoon Gi panik menghubungi rumah sakit. Jung
Kook meraih tanganku.
“Aku
mencintaimu. Dulu, sekarang hingga nanti. Jangan pernah sekali pun meninggalkan
Yoon Gi. Dia sudah banyak berkorban untuk kenangan kita dulu. Sekarang
giliranku berkorban merelakan kalian berdua bersama untuk masa depan kita
semua. Apapun itu aku sudah memaafkan kalian berdua. Selamat tinggal. Aku
mencintaimu. Han Sang Jin.”, ucapnya sebagai perkataan terakhirnya. Ia pun
menutup mata dengan senyuman.
Jung
Kook telah pergi. Aku memeluknya. Aku menangis. Aku tak mampu menahan derasnya
air mata. Yoon Gi hanya mampu terduduk lemas dan menahan tangisnya.
***
Aku
dan Yoon Gi telah menikah. Tepat di depan peristirahatan terakhir Jung Kook
kami sampaikan kabar bahagia ini. Yoon Gi menggengam tanganku dengan erat.
“Terima
kasih untuk semuanya. Bagaimanapun juga kau adalah kakak yang terbaik. Aku akan
menjaga Han Sang Jin. Kau tidak perlu khawatir. Tenanglah di sana.”, ucap Yoon
Gi lembut.
“Maafkan
aku! Saat itu aku harus kalah dari keadaan. Semuanya terlalu berat kalau harus
ku bagi penderitaanku denganmu saat itu. Aku berjanji padamu. Aku tidak akan
pernah meninggalkan Jeon Yoon Gi. Aku janji.”, sambungku menahan tangis.
Komentar
Posting Komentar