Story~ Masa Lalu Namida
Masa
Lalu Namida
Selamat pagi, dunia!
Apa kabar ? Hari ini semangat pagi memenuhi kamar tidurku. Ku bergegas bangun
dari tempat tidurku. Ku buka jendela kamarku dan ku hirup nikmatnya udara pagi
ini. Jam di meja belajarku sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Aku bersiap
berangkat ke sekolah.
“Pagi,
Pa, Ma! Aku langsung berangkat, ya! Takut telat, nih!“, ucapku riang di ruang
makan.
“Kamu
yakin gak mau sarapan dulu? Nanti kamu sakit perut lagi terus lemas di sekolah“,
ujar Mama khawatir.
“Tenang
aja, Ma, aku kan anak kuat! Iya, kan, Pa ?“, jawabku.
“Ya,
pastilah! Hati – hati, ya!“, jawab Papa yang diikuti gelengan kepala Mama.
Aku
pun berangkat ke sekolah. Sendiri. Maklumlah aku orang baru disini. Keluargaku
baru pindah kemarin pagi. Dengan santai ku kayuh sepedaku. Jarak antara rumah
dan sekolah baruku memang tak terlalu jauh. Hanya berjarak empat blok dari
rumahku.
Rumah
baru. Sekolah baru. Tetangga baru. Teman baru. Lingkungan baru. Seperti apa ya
mereka semua nanti? Apa aku akan betah tinggal disini? Membayangkannya saja
sudah membuat ku senang. Apalagi kalau sampai aku mengalaminya.
Tapi,
semua mendadak berubah. Sekolah baruku
tak menawarkan perkenalan
yang
indah. Blakk...
Sebuah
bola basket tepat menghantam tengkukku. Aku merasa sedikit linglung. Beruntung
aku bisa menguasai laju sepedaku. Tanpa menoleh ke belakang, aku langsung turun
dari sepedaku. Aku lebih memilih melanjutkan perjalanan memasuki area sekolah
dengan menuntun sepedaku.
Tak
ku pedulikan sayup – sayup
tawa
di belakangku. Dengan berjalan perlahan, tangan kiriku terus menerus memegang
tengkukku. Sekuat tenaga ku tahan rasa sakitnya.
Sesampainya
di tempat parkir khusus sepeda, ku legakan sedikit hatiku. Dengan malas ku
parkirkan sepeda dan menguncinya. Ku berjalan ke arah sebuah pohon besar yang
berada tepat di sebelah kanan sepedaku. Ku duduk dengan tetap menahan rasa
sakit. Tangan kiriku masih memegang tengkukku yang mulai berkurang rasa
sakitnya.
Ku edarkan pandanganku.
Sepi. Tangan kananku mulai mengipas
dengan perlahan.
“Ini!“. Sebuah botol air minum
terulur ke arahku. Refleks. Ku
tengadahkan kepalaku. Ku lihat seorang anak laki – laki bertubuh tinggi tegap
tersenyum ke arahku dengan kaos basketnya.
“Ini, ayo ambil!“,
ulangnya.
Dengan ragu aku berdiri
dan mengambilnya.
“Tapi, kamu...”,
ucapanku terhenti dan meragu.
“Oh, iya! Kenalkan,
namaku Henry. Sorry, ya, yang tadi! Aku gak sengaja lempar bola basketnya ke
arahmu tadi.“, terangnya.
“ Iya, aku baik – baik aja kok. Terima kasih atas
air minumnya. Tapi, kamu sepertinya
lebih butuh daripada aku kelihatannya. Ini!”,
ku kembalikan botol air minum itu.
Henry menolaknya sambil
tersenyum.
Kriiing...
Bel berbunyi dengan nyaringnya. Syukurlah. Ku letakkan begitu saja botol itu di
bawah pohon. Ku tundukkan kepalaku ke arahnya dan aku pun berlalu begitu saja.
“Eh, tunggu! Nama kamu
siapa?”, teriak Henry.
Sayangnya, aku justru
berjalan lebih cepat seiring teriakannya itu. Dalam langkah cepatku itu
ternyata sesuatu yang tak menyenangkan menimpaku. Brakkk...
Aku menabrak seseorang.
Parah. Kami berdua sama – sama terjatuh.
Dengan sigap aku langsung berdiri.
“Maaf, saya tidak
sengaja.”, ucapku tertunduk. Agak
takut.
“Iya,iya! Lain kali
kalau jalan hati – hati, dong!”, jawab anak laki – laki itu ketus.
“Iya, maaf, permisi!”,
balasku berlalu sambil terus tertunduk.
“Eits, tunggu!
Sepertinya kita pernah ketemu,
deh!”, ucapnya sambil mencoba
menahan lenganku.
Refleks. Ku menoleh ke
arahnya sambil menangkis tangannya itu. Aku pun mulai memberanikan diri melihat
ke arahnya. Kaget.
Makhluk ini...
“Oh! Wajar! Si Namida! Tukang nangis. Apa kabar gadis
kecil? Masih suka nangis, nih? Hahaha... Irene...Irene! Dunia ini sempit banget
ya? Baru aja tiga tahun kita gak ketemu, udah main tumbuh besar aja kamu. Aku
gak nyangka loh kalau kamu bakal pindah dan satu sekolah lagi sama aku. Atau
jangan – jangan kita satu komplek lagi rumahnya. Sebelahan gak ya? Hahaha...”,
ledek Kris panjang lebar.
“Ih, terserah! Bel
sekolah udah
bunyi dari tadi, aku mau ke ruang guru!”, jawabku ketus sambil berbalik berlalu.
“Oh! Ayo! Dengan senang
hati akan ku antar.”,
ucapnya sambil menarikku ke ruang guru.
“Ih, lepasin! Sakit
tahu! Kris! Lepasin, gak?! Malu kan dilihat anak – anak yang lain! Aku anak baru tahu!”,
gertakku sambil terus berusaha melepaskan cengkraman Kris dari lenganku. Tidak
bisa.
“Ih, cerewet banget sih
kamu, Namida! Udah diam aja!”, balasnya.
Anak – anak lain yang
melihat kami pun berhenti dari rasa tergesa mereka. Hanya untuk sejenak
melihat, heran, dan mungkin tidak percaya dengan tingkah kami. Aku pun sukses jadi bingung. Sebenarnya jadi apa sih
makhluk ini di sekolah ini?
Kris yang berjalan
dengan terlalu cepat dan ditambah cengkramannya yang semakin kuat semakin
menambah rasa sakit pergelangan tanganku. Dengan seenaknya pun ia menarikku
masuk ke ruang guru.
“Mom Laili, ini murid baru di
kelas kita, kan? Saya langsung bawa ke kelas ya, Mom?”, ucapnya cepat kemudian berlalu.
Belum sempat Mom Laili melihat kami, Si Wolf
ini langsung menarikku pergi begitu saja. Ku lihat Mom Laili pun hanya bisa menggelengkan
kepala melihat aksi Kris ini. Dengan tenang beliau berjalan di belakang kami.
“Eh, Wolf! Gak sopan
kamu itu!”, gertakku.
“Ih, cerewet banget sih
kamu, Namida! Udah diam aja!”, balasnya.
“Kris!”, sapa Henry
dari belakang.
Langkah Kris terhenti
dengan kesal. Dengan kasar ia menoleh ke arah Henry dan menarikku tepat berdiri
di belakang punggungnya. Kaget.
Aku terdiam. Entah kenapa, jantungku berdetak semakin cepat. Waktu seolah
berhenti tepat di depan bola mataku. Ku angkat kepalaku. Aku tak percaya ini
terjadi. Kami sedekat ini. Setelah sekian lama tak bertemu, kenapa jadi seperti
ini. Stop! Jangan ge-er! Tapi Cengkraman
Kris juga semakin kuat. Apa yang sebenarnya terjadi?
Hening. Kris, Henry,
dan aku terdiam. Sesaat.
“Hai! Siapa? Anak baru
di kelas kita, ya? Oh, anak yang
di bawah pohon tadi?!”, tanya Henry manis.
Kris diam. Aku mencoba
melihat ke arah Henry.
“Nam!”, perintah Kris
kasar.
Aku hanya bisa kembali
terdiam bersembunyi di balik punggungnya. Seketika itu pun aku mulai merasa
kalau cengkraman Kris sepertinya sudah mulai benar – benar melukaiku.
“Henry! Don’t touch her!
She is My Girl!”, ucapnya tegas. Kemudian kembali berlalu begitu saja dengan
tetap menarikku seenaknya.
Suasana di antara kami
mendadak canggung. Dalam diam ku berpikir. Dia
pikir dia siapa ngomong kayak gitu? Mungkinkah benar ia
masih Kris yang dulu? Si Kris, The
Wolf, masih tetap jadi pahlawan tersembunyi untukku? Sok jadi orang misterius
yang mengundang banyak perhatian? Tapi apapun itu kurasa
jawabannya adalah iya. Karena perkataannya barusan itu adalah ciri khasnya
melindungiku dengan seenaknya.
Kelas yang gaduh
mendadak hening begitu melihat kami sampai di depan pintu kelas.
“Eh, Wolf! Ada apaan
kok pada hening mendadak begini? Ada yang salah sama gayaku ya?”, tanyaku
meragu.
“Ih, cerewet banget sih
kamu, Namida! Udah diam aja!”, balasnya.
Cengkraman itu pun
terlepas. Kris meninggalkanku begitu saja di ambang pintu. Aku terdiam. Aku merasa
ada yang aneh dengannya.
Pandanganku
jelas isaratkan ketidakpercayaan diriku.
“Good Morning, Class!
Irene! Come in, please!”, ujar Mom Laili
yang sudah tiba di kelas.
Aku mengangguk ragu dan
berjalan perlahan mengikuti beliau.
“Please, introduce yourself!”, minta Mom Laili.
“Hi! Good Morning,
everyone! How do you do? It’s nice to meet you. I am Floirene Clark. But
please, call me Irene. Thank you!”, ucapku.
“Ok, please sit beside
Kris.”, minta Mom Laili
lagi.
Dengan pelan ku
berjalan dan duduk di samping makhluk itu.
“It’s same as what I’ve
planned!”, bisik Kris padaku.
“Maksudnya?”, tanyaku
jengkel.
“Ih, cerewet banget sih
kamu, Namida! Udah diam aja!”, balasnya.
Ku lihat ia susah payah
menahan tawanya. Sementara aku hanya bisa mengalihkan pandangan ke depan tanpa
memperdulikannya. Karena sekarang adalah pelajaran pertama di hari pertama.
***
Hari pertama, minggu
pertama, dan bulan pertama semuanya aman. Tapi ternyata semua itu hanyalah ilusi dari masa lalu.
Karena disinilah semua berawal.
“Wolf, ada apaan itu?”,
tanyaku heran pada Kris.
Diam. Pandangannya
kosong. Tapi aku tahu dia jelas melihat ke arah kerumunan itu dengan tatapan
dingin. Ia membeku.
Tetap diam. Tak ada
jawaban dari Kris. Yang ada ia malah mencengkram tanganku lagi. Rasanya sama
seperti waktu itu. Dalam hati aku mulai diserbu seribu tanya, “Sebenarnya kamu
itu siapa Kris? Sebenarnya ada apa? Kenapa aku gak pernah bisa lepas darimu
sejak kedatanganku kemari? Terus
sekarang sedang ada apa lagi ini?”
“Kris? Kamu kenapa? Itu
ada apaan ya?”, tanyaku lagi hati-hati.
“Ih, cerewet banget sih
kamu, Namida! Udah diam aja!”, jawabnya tiba-tiba.
“Ayo! Pergi dari
sini.”, ajaknya.
Dengan langkah cepat
ditambah cengkraman yang semakin kuat, semua seolah diputar kembali pada hari
pertamaku di sekolah ini.
Kami pun tiba di satu
tempat yang sepi. Tempat ini tak pernah ku datangi sebelumnya. Meski Kris sudah
pernah mengajakku berkeliling – keliling sekolah lebih dari dua kali seminggu.
Ia melepaskan
cengkraman tangannya. Ia berjalan perlahan meninggalkanku. Ia pun terduduk di
sebuah bangku taman yang tak jauh dari tempat kami berdiri semula.
Ia tertunduk. Tubuhnya
bergetar. Aku terdiam terpaku. Kris yang ku kenal tak pernah seperti ini
sebelumnya. Aku bingung. Ini Kris yang memang sedang menangis atau ia hanya
sedang mulai mengerjaiku seperti dulu lagi.
Aku ragu. Aku tidak
tahu apa yang harus segera
aku lakukan. Tetap diam di tempatku berdiri sekarang. Menghampirinya dan
bersiap tentang apa yang sebenarnya dia lakukan. Atau haruskah aku kembali ke
tempat kerumunan itu dan mencari tahu sesuatu sendiri?
Entah ini benar atau
salah. Perlahan ku tarik langkah mundur sesaat. Kemudian aku pun langsung berbalik
arah dan melesat ke arah
kerumunan itu.
Aku melihat Lami
disana. Tapi ada apa dengannya. Kenapa semua orang terlihat ketakutan
melihatnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Lami menangis dalam ketakutan. Tubuhnya
bergetar hebat. Sekuat tanaga ku lihat ia menahan suara isak tangisnya.
Aku memang tak
mengenalnya. Selain karena aku baru sebulan disini, tapi juga karena Kris
selalu mengikuti kemana pun aku pergi. Ia selalu membatasiku untuk bergaul bersama
yang lain.
Entah apa
yang sedang meracuni pikiranku. Aku mencoba tenang. Sedetik kemudian langkahku
tergerak untuk mendekat. Henry. Dengan santai ia dan teman – teman basketnya
menertawakan Lami. Tanpa beban. Tanpa dosa.
“Lami.
Lami. Aku sudah pernah bilang, kan? Gak usah kebanyakan macem! Irene itu memang
bagian masa lalunya Kris tapi bukan berarti itu berlaku untuk sekarang. Jadi,
it will be ok if I wanna be her boyfriend. Tapi kenapa loe malah selalu jadi
pembocor setiap rencana yang udah gue susun buat dapetin Irene. Hari pertama,
minggu pertama dan sampai bulan pertama. Gue diam. Tapi loe makin menjadi!
Hasilnya apa, heh? Si Kris selalu nempel sama Irene! Boys kurung dia di atas
rooftop!”, bentak Henry.
Aku
terhenti. Aku siapanya Kris? Masa lalu? Apa hubungannya Kris sama Lami?
Bagaimana bisa Henry mau deketin aku?
“Berhenti!”,
teriakku.
Dengan
sigap ku tarik Lami ke belakangku. Semua terkejut. Henry mematung.
“Aku sama
sekali gak ngerti apa yang sebenarnya kalian lakukan. Bullying? It’s more than
that! Henry. Apa maksudmu? Aku? Masa lalunya Kris? Masa lalu apanya? Terus
kenapa kamu takut sama Kris? Emangnya dia siapa? Kalau memang tertarik sama aku
kenapa harus ada acara rencana rahasia segala? Satu lagi, kenapa kamu bisa tahu
kalau pernah dekat sama Kris? Bukannya kalian itu udah seperti musuh bebuyutan,
ya? Heh? Ayo, Hen, jelaskan! Ada apa sebenarnya?”, tanyaku penuh selidik.
Semua
membisu. Waktu seolah terhenti. Dunia seolah berhenti berputar tepat di depan
mata Henry.
“Semua
salahku.”, ucap Kris pelan.
Dengan
tatapan tajam ku lihat ia berdiri di belakang Lami. Ia menepuk pundak Lami
pelan. Seolah ia sedang berkata “Pergilah. Semua cukup sampai di sini saja.”
Dengan gontai Lami melangkah pergi. Bola mataku mengkuti setiap gerak – gerik
Kris. Bahkan Lami pun seolah berubah menjadi angin yang terhembus begitu saja.
Ia
menghampiri Henry. Ia membelakangiku. Ia lalu mengedarkan pandangannya. Dengan
pandangan sendu ia seolah berkata kepada semua orang, “Drama hari ini sudah
selesai. Silahkan pergi dari teater ini sekarang juga.” Semua orang bergegas
pergi. Henry. Ia tetap mematung seperti itu.
“Apakah kau
ingat saat kita merayakan hari ulang tahunmu yang ke 9? Saat itu hujan turun
dengan derasnya. Tapi kamu malah bersikeras untuk pergi ke taman. Kau bilang
ada seseorang yang sedang menunggumu. Apa kau ingat siapa dia? Namida?”, tanya
Kris dengan menahan tangis.
“Hhemm! Kau
bilang itu kau. Hari dimana aku mengalami kecelakaan itu kan? Di hari
terakhirku di rumah sakit kau bilang kalau kau ini adalah seseorang yang ku
suka sejak di bangku TK.”, jawabku.
“Benar.
Tapi sebenarnya itu bukan aku. Itu Henry. Pangeran Kecilmu.”, ucapnya.
Aku
bingung.
“Apa
maksudmu? Saat itu kau sendiri yang bilang kalau kau ini Pangeran Kecilku yang
memanggilku dengan sebutan Namida kan?”, tanyaku semakin bingung.
“Itu
bohong. Semuanya bohong. Kau mengalami sedikit cidera di kepalamu. Cidera itu
membuat kau harus kehilangan memori tentang orang yang sangat kau sukai dan itu
adalah Henry. Aku sengaja melakukannya karna aku marah padanya. Bagaimana
mungkin ia membuatmu menjadi seperti itu? Aku sudah mencegahmu. Mencegah Henry.
Tak ada satu pun yang mau mendengarkanku. Akhirnya, karena merasa bersalah
Henry pindah ke luar negeri. Sedangkan aku? Tiga tahun yang lalu menjadi batas
kemampuanku untuk menahan semua ini. Aku pindah. Sekarang terserah apa yang
ingin kau lakukan. Kau sudah tahu semuanya. Lami. Aku memintanya untuk selalu
mengikuti Henry. Karena ku sadar bagaimana pun juga Henry pasti mengenalimu dan
alam bawah sadarmu pasti akan tetap mengingatnya. Tapi aku masih belum siap
saat itu. Aku takut kehilanganmu. Aku sayang sama kamu. Aku semakin membenci
Henry. Sekarang semua berakhir. Aku akan pergi. Aku bukan lagi Wolf, Si
Pangeran Kecilmu yang menjengkelkan lagi. Selamat tinggal, Ai no Namida!”,
terangnya panjang lebar.
Kris
melangkah pergi. Henry tetap mematung. Aku terjatuh. Entah kenapa kepalaku
rasanya sakit sekali. Sekuat tenaga aku menahannya. Henry panik. Ia langsung
menghampiriku. Langkah Kris terhenti. Ia langsung berlari menghampiriku. Tapi,
tiba – tiba semuanya berubah menjadi gelap. Sayup – sayup ku dengar. “Namida!
Jangan lagi! Kamu gak boleh terluka karena aku lagi!”, ucap Henry. Terakhir,
“Maafkan aku, Ai no Namida!”. Aku
tersenyum.
***
Kriiing….
“Henry!
Tungguin, dong! Cepet banget, sih, larinya!”, teriakku.
“Iya,
iya!”, Henry berlari menghampiriku.
““Ih,
cerewet banget sih kamu, Namida! Udah diam aja!”, ucap Kris yang muncul tiba – tiba dengan santainya.
“Apaan sih?
Ganggu aja!”, jawabku ketus.
“Sudah,
ayo, masuk!” , ajak Henry. Dengan senyum ia menautkan lenganku dengan
lengannya.
“Eh, Lami!
Baru datangnya?”, sapaku pada Lami yang tengah berlari. Ia pun menghampiri kami
bertiga.
“Sudah
ditunggu sama Kris dari tadi. Kita berdua masuk dulunya!”, ucapku.
Aku pun
langsung mengajak Henry berlari masuk ke gedung sekolah. Meninggalkan mereka
berdua. Sesaat sebelum masuk, kami berhenti. Aku dan Henry tertawa melihat
tingkah mereka berdua. Kris dan Lami terlihat begitu kikuk. Mereka berjalan
bersama dengan tingkah malu – malu kucing. Aku dan Henry bergegas masuk dan
hanya bisa terus tertawa membicarakan tingkah mereka berdua.
*Namida = air mata, Ai no Namida = air mata cinta
Wolf = Serigala
Komentar
Posting Komentar